HERMENEUTIKA HUKUM
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 572 K/Pid/2003 TANGGAL 12 PEBRUARI 2004
Oleh: Anang Yustisia, S.H.
Oleh: Anang Yustisia, S.H.
1.
Pendahuluan
Hukum seringkali ditafsirkan ansich bunyi peraturan
perundang-undangan. Karena undang-undang tidak dapat
diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Hal ini
sebagaimana diamanatkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat. “Ketentuan undang-undang harus
diberikan arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan
dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya”.[1]
Metode penafsiran
konvensional dianggap tidak lagi mencukupi dalam memberikan tafsir
perundang-undangan. Lahirlah kemudian apa yang disebut dengan hermeneutika
hukum. “Hermeneutika hukum bertujuan diantaranya untuk menempatkan perdebatan
kontemporer mengenai interpretasi dalam kerangka interpretasi yang lebih luas”.[2]
Berdasarkan
uraian di atas, sehingga penulis menggunakan judul dalam makalah ini mengenai hermeneutika
hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12
Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar
Tandjung yang diputus bebas di tingkat Kasasi dengan membandingkan penafsiran
putusan terbukti bersalah dari putusan judex
facti (pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat
banding).
2.
Permasalahan
Apa hermeneutika
hukum oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572
K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004?
3.
Pembahasan
Hakim Mahkamah Agung pada
tingkat kasasi menilai benar atau salah hakim judex facti dalam menerapkan hukum yang diputusnya tentunya banyak
menggunakan hermeneutika hukum. Dalam hermeneutika hukum ini yang diterapkan
oleh Hakim
Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572
K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama
terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk. sehingga putusan kasasi ini menyatakan Ir.
Akbar Tandjung dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedangkan
H.
Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara bersama-sama
melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk memahami hermeneutika
hukum oleh Hakim Mahkamah Agung tersebut, lebih jelasnya memahami kasus posisi
perkara tindak pidana korupsi tersebut sebagai berikut:
berawal ketika Ir. Akbar Tandjung, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang
didakwa telah memperkaya diri, yang secara langsung atau tidak langsung telah
merugikan keuangan Negara, dalam hal ini keuangan BULOG sebesar Rp.
40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) atau setidak-tidaknya dalam jumlah
lain sekitar jumlah tersebut.[3]
Pada hari Rabu
tanggal 4 September 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor
449/Pid.B/2002/PN.Jak.Pus. menjatuhkan pidana terhadap Ir. Akbar Tandjung
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, H. Dadang Sukandar dan Winfried
Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6
(enam) bulan; dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[4]
Dalam peradilan
tingkat banding, pada hari Jumat tanggal 17 Januari 2003, Pengadilan Tinggi
Jakarta melalui putusan Nomor 171/Pid/2002/PT.DKI menjatuhkan pidana kepada
terdakwa-terdakwa tersebut di atas masing-masing dengan pidana penjara selama 3
(tiga) tahun, dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[5]
Pada peradilan
tingkat kasasi, pada hari Kamis tanggal 12 Pebruari 2004, Mahkamah Agung
melalui putusan Nomor 572 K/Pid/2003 memutuskan: [6]
1. Menyatakan terdakwa I Ir. Akbar Tandjung
tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan Subsidair;
2. Membebaskan oleh karena itu Terdakwa
tersebut dari dakwaan Primair dan Subsidair;
3. Memulihkan hak terdakwa tersebut dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Melalui putusan
ini pula, Mahkamah Agung tetap mempidana H. Dadang Sukandar dan Winfried
Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6
(enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.[7]
Dalam pertimbangan majelis hakim
Mahkamah Agung pada tingkat kasasi ini lebih
mengedepankan pertimbangan Hukum Administrasi Negara. Latar belakang akademik
ketua majelis hakim kasasi, Paulus Effendie Lotulung, sebagai guru besar Hukum
Administrasi Negara.
M. Syamsudin berpendapat bahwa dalam menafsirkan makna korupsi,
para hakim selalu menetapkan batasan, unsur, dan vonisnya dalam perkara yang
bersangkutan kepada rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang terkait
korupsi. Kondisi ini sangat lumrah dipahami, sebab dalam memeriksa perkara
korupsi hakim tidak dapat berdiri sendiri. Hakim terikat pada surat dakwaan
yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang selalu mendakwa terdakwa dengan
Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU
31/1999 jo. UU 20/2001) dengan berbagai variasinya.[8]
Tugas utama majelis hakim kasasi
tersebut memeriksa dan mengadili apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang
berlaku. Tetapi majelis hakim kasasi tersebut menggunakan hermeneutika lain
yaitu dengan melihat perspektif hukum lain yaitu hukum administrasi
Negara.
Hakim harus mampu membaca dan
memahami keseluruhan teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan baik. Untuk memahami keseluruhan
teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap kalimat harus diinterpretasikan dengan
baik.[9]
Kalimat per kalimat tersebut dilakukan suatu hermeneutika hukum yang kemudian
diberi makna menjadi satu kesatuan makna yang baik.
Dalam konteks putusan kasus
Akbar Tandjung, majelis hakim kasasi menginterpretasikan kalimat per kalimat
pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Oleh karena itu, majelis hakim kasasi
memberikan interpretasi apa hakekat korupsi dengan menguraikan unsur-unsurnya
yang terdiri dari:
a.
unsur “barangsiapa”;
b.
unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu badan;
c. unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”;
d. unsur “yang secara langsung atau tidak langsung
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.
Namun seperti dipaparkan di
atas, majelis hakim kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 572
K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 lebih mengedepankan aspek hukum
administrasi Negara dalam mengadili perkara Akbar Tandjung. Majelis hakim
kasasi tidak memperhatikan perkara yang ditanganinya adalah perkara tindak
pidana korupsi yang notabene ada pada
wilayah (space) hukum pidana. Norma
dan teori yang dipergunakan untuk memeriksa dan memutus perkara inipun,
seharusnya ada pada wilayah bukum pidana, bukan hukum administrasi Negara.
Namun majelis hakim kasasi tidak melakukannya. Sehingga putusan perkara Akbar
Tandjung diputus bebas murni.
Bebasnya Akbar Tandjung dari segala dakwaan menurut Suhardi
Samomoeljono dan Mahendrata memprediksi bahwa majelis hakim kasasi akan
menyatakan Akbar Tandjung terbukti melawan hukum dan bersalah. Tetapi Akbar
tidak dapat dihukum atau dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag) karena pada waktu itu dia hanya menjalankan perintah
Presiden BJ. Habibie.[10]
Marbun berpendapat bahwa dari sisi hukum administrasi Negara kasus
Akbar Tandjung itu tidak terlepas dari prinsip mandat. Jika persoalan dana
Buloggate II tersebut dipahami seperti itu, maka mestinya sejak persidangan
tingkat pertama Akbar sudah bebas.[11]
4.
Kesimpulan
Dalam
melihat Putusan
Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang
tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk., bahwa hakim mempergunakan
hermeneutika dengan perspektif hukum administrasi Negara dalam memutus perkara,
dan kurang memperhatikan aspek hukum lain yaitu perspektif hukum pidana.
Dalam
rangka hermeneutika hukum dalam perkara tindak pidana korupsi, Hakim
Mahkamah Agung di tingkat Kasasi harus mampu membaca dan memahami keseluruhan
teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan
baik. Untuk memahami keseluruhan teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap
kalimat harus diinterpretasikan dengan baik dan hendaknya lebih memperhatikan
unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan memperhatikan undang-undang maupun
peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sehingga ada
tidaknya perbuatan melawan hukum dapat diketahui dengan cermat demi
terpenuhinya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.
DAFTAR
BACAAN
Mertokusumo,
Sudikno, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan
Hukum, Citra Aditya Bakti.
Salman
S., H.R. Otje & Anton F. Susanto, 2004, Teori
Hukum, Refika Aditama, Bandung.
SF
Marbun, 2004, Akuntabilitas Putusan Akbar
Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan Keterukuran Sanksi, UII Press,
Yogyakarta.
Gregory
Leyh, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah,
Teori dan Pratik, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung.
Shidarta,
2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum
Buku 1 Akar Filofis, Genta Publishing, Bandung.
M
Syamsudin, 2010, Pemaknaan Hakim tentang
Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum,
Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010.
putusan.mahkamahagung.go.id,
2003, Putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003 tanggal 12
Pebruari 2004.
Praktisi Hukum
Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.
[1] Sudikno Mertokusmo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, 1993, h.12.
[2] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Pratik,
diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2011, h.1.
[3] SF Marbun, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan
Keterukuran Sanksi, UII Press, Yogyakarta, 2004, h.14-15.
[4] Ibid. h.530.
[5] Ibid. h.357.
[6] Ibid. h.529.
[7] Ibid. h.530.
[8] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan
Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar
Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[9] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan
Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar
Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[10] Praktisi Hukum Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara
Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.
[11] Ibid.