Senin, 04 November 2013

Makalah Teori Hukum

HERMENEUTIKA HUKUM 
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 572 K/Pid/2003 TANGGAL 12 PEBRUARI 2004

Oleh: Anang Yustisia, S.H.

1.            Pendahuluan
Hukum seringkali ditafsirkan ansich bunyi peraturan perundang-undangan. Karena undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Hal ini sebagaimana diamanatkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. “Ketentuan undang-undang harus diberikan arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya”.[1]
Metode penafsiran konvensional dianggap tidak lagi mencukupi dalam memberikan tafsir perundang-undangan. Lahirlah kemudian apa yang disebut dengan hermeneutika hukum. “Hermeneutika hukum bertujuan diantaranya untuk menempatkan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi dalam kerangka interpretasi yang lebih luas”.[2]
Berdasarkan uraian di atas, sehingga penulis menggunakan judul dalam makalah ini mengenai hermeneutika hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung yang diputus bebas di tingkat Kasasi dengan membandingkan penafsiran putusan terbukti bersalah dari putusan judex facti (pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding).

2.            Permasalahan
Apa hermeneutika hukum oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004?

3.            Pembahasan
Hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menilai benar atau salah hakim judex facti dalam menerapkan hukum yang diputusnya tentunya banyak menggunakan hermeneutika hukum. Dalam hermeneutika hukum ini yang diterapkan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk. sehingga putusan kasasi ini menyatakan Ir. Akbar Tandjung dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedangkan H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk memahami hermeneutika hukum oleh Hakim Mahkamah Agung tersebut, lebih jelasnya memahami kasus posisi perkara tindak pidana korupsi tersebut sebagai berikut: berawal ketika Ir. Akbar Tandjung, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang didakwa telah memperkaya diri, yang secara langsung atau tidak langsung telah merugikan keuangan Negara, dalam hal ini keuangan BULOG sebesar Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) atau setidak-tidaknya dalam jumlah lain sekitar jumlah tersebut.[3]
Pada hari Rabu tanggal 4 September 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 449/Pid.B/2002/PN.Jak.Pus. menjatuhkan pidana terhadap Ir. Akbar Tandjung dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan; dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[4]
Dalam peradilan tingkat banding, pada hari Jumat tanggal 17 Januari 2003, Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan Nomor 171/Pid/2002/PT.DKI menjatuhkan pidana kepada terdakwa-terdakwa tersebut di atas masing-masing dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[5]
Pada peradilan tingkat kasasi, pada hari Kamis tanggal 12 Pebruari 2004, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 572 K/Pid/2003 memutuskan: [6]
1.   Menyatakan terdakwa I Ir. Akbar Tandjung tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan Subsidair;
2.       Membebaskan oleh karena itu Terdakwa tersebut dari dakwaan Primair dan Subsidair;
3.       Memulihkan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Melalui putusan ini pula, Mahkamah Agung tetap mempidana H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.[7]
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi ini lebih mengedepankan pertimbangan Hukum Administrasi Negara. Latar belakang akademik ketua majelis hakim kasasi, Paulus Effendie Lotulung, sebagai guru besar Hukum Administrasi Negara.
 M. Syamsudin berpendapat bahwa dalam menafsirkan makna korupsi, para hakim selalu menetapkan batasan, unsur, dan vonisnya dalam perkara yang bersangkutan kepada rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang terkait korupsi. Kondisi ini sangat lumrah dipahami, sebab dalam memeriksa perkara korupsi hakim tidak dapat berdiri sendiri. Hakim terikat pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang selalu mendakwa terdakwa dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo. UU 20/2001) dengan berbagai variasinya.[8]
Tugas utama majelis hakim kasasi tersebut memeriksa dan mengadili apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Tetapi majelis hakim kasasi tersebut menggunakan hermeneutika lain yaitu dengan melihat perspektif hukum lain yaitu hukum administrasi Negara. 
Hakim harus mampu membaca dan memahami keseluruhan teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan baik. Untuk memahami keseluruhan teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap kalimat harus diinterpretasikan dengan baik.[9] Kalimat per kalimat tersebut dilakukan suatu hermeneutika hukum yang kemudian diberi makna menjadi satu kesatuan makna yang baik.
Dalam konteks putusan kasus Akbar Tandjung, majelis hakim kasasi menginterpretasikan kalimat per kalimat pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Oleh karena itu, majelis hakim kasasi memberikan interpretasi apa hakekat korupsi dengan menguraikan unsur-unsurnya yang terdiri dari:
a.         unsur “barangsiapa”;
b.        unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan;
c.  unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”;
d.  unsur “yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.
Namun seperti dipaparkan di atas, majelis hakim kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 lebih mengedepankan aspek hukum administrasi Negara dalam mengadili perkara Akbar Tandjung. Majelis hakim kasasi tidak memperhatikan perkara yang ditanganinya adalah perkara tindak pidana korupsi yang notabene ada pada wilayah (space) hukum pidana. Norma dan teori yang dipergunakan untuk memeriksa dan memutus perkara inipun, seharusnya ada pada wilayah bukum pidana, bukan hukum administrasi Negara. Namun majelis hakim kasasi tidak melakukannya. Sehingga putusan perkara Akbar Tandjung diputus bebas murni.
  Bebasnya Akbar Tandjung dari segala dakwaan menurut Suhardi Samomoeljono dan Mahendrata memprediksi bahwa majelis hakim kasasi akan menyatakan Akbar Tandjung terbukti melawan hukum dan bersalah. Tetapi Akbar tidak dapat dihukum atau dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag) karena pada waktu itu dia hanya menjalankan perintah Presiden BJ. Habibie.[10]
   Marbun berpendapat bahwa dari sisi hukum administrasi Negara kasus Akbar Tandjung itu tidak terlepas dari prinsip mandat. Jika persoalan dana Buloggate II tersebut dipahami seperti itu, maka mestinya sejak persidangan tingkat pertama Akbar sudah bebas.[11]

4.            Kesimpulan
Dalam melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk., bahwa hakim mempergunakan hermeneutika dengan perspektif hukum administrasi Negara dalam memutus perkara, dan kurang memperhatikan aspek hukum lain yaitu perspektif hukum pidana.
Dalam rangka hermeneutika hukum dalam perkara tindak pidana korupsi, Hakim Mahkamah Agung di tingkat Kasasi harus mampu membaca dan memahami keseluruhan teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan baik. Untuk memahami keseluruhan teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap kalimat harus diinterpretasikan dengan baik dan hendaknya lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan memperhatikan undang-undang maupun peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sehingga ada tidaknya perbuatan melawan hukum dapat diketahui dengan cermat demi terpenuhinya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.


DAFTAR BACAAN

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti.

Salman S., H.R. Otje & Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung.

SF Marbun, 2004, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan Keterukuran Sanksi, UII Press, Yogyakarta.

Gregory Leyh, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Pratik, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung.

Shidarta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Buku 1 Akar Filofis, Genta Publishing, Bandung.

M Syamsudin, 2010, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010.

putusan.mahkamahagung.go.id, 2003, Putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004.

Praktisi Hukum Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.





[1] Sudikno Mertokusmo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h.12.
[2] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Pratik, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2011, h.1.
[3] SF Marbun, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan Keterukuran Sanksi, UII Press, Yogyakarta, 2004, h.14-15.
[4] Ibid. h.530.
[5] Ibid. h.357.
[6] Ibid. h.529.
[7] Ibid. h.530.
[8] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[9] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[10] Praktisi Hukum Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.
[11] Ibid.