Kamis, 21 Agustus 2014

Makalah Peradilan Pajak



PENYELESAIAN SENGKETA PAJAK MELALUI
PERADILAN PAJAK DI INDONESIA

Oleh: ANANG YUSTISIA, S.H.

A.          Latar Belakang
Indonesia merupakan negara hukum sebagai mana dituangkan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sebagai Negara hukum, Indonesia juga bercirikan sebagai negara kesejahteraan modern (welfare state modern) yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia sebagaimana tertuang di dalam butir Pancasila Sila ke-5.
Berkaitang dengan pengenaan pajak dalam mewujudkan negara kesejahteraan modern, negara harus menjamin keadilan sosial dalam pelaksanaan agar terhindar dari penindasan maupun pelanggaran hukum. Sehingga harus dipahami bahwa pelaksanaan pengenaan pajak oleh pemerintah kepada wajib pajak yang kemudian berlakulah suatu hukum pajak, sebagaimana dikemukakan oleh Santoso Brotodihardjo sebagai berikut: Hukum pajak yang disebut hukum fiskal adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas Negara sehingga ia merupakan bagian dari Hukum Publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar pajak (selanjutnya sering disebut wajib pajak).
Penegakan hukum pajak dapat dilakukan melalui penyelesaian sengketa pajak di luar peradilan pajak sebagaimana dilakukan oleh pejabat pajak dengan melakukan penagihan pajak. Sedangkan penegakan hukum pajak melalui peradilan pajak dilakukan oleh Lembaga Keberatan dan Pengadilan Pajak yang berpuncak pada Mahkamah Agung dengan cara pemeriksaan dan memutus sengketa pajak. Menurut Dewi Kania Sugiharti tentang Peradilan Pajak sebagai berikut: Peradilan pajak mencangkup hal yang luas, meliputi baik peradilan untuk penyelesaian perkara tindak pidana fiscal maupun yang mengenai sengketa (administrasi) pajak (yakni sengketa yang timbul karena tidak adanya kecocokan tentang jumlah utang pajak yang harus dibayar, yang terjadi antara wajib pajak dengan fiskus.
Berdasarkan uraian di atas, sehingga penulis menggunakan judul dalam makalah ini mengenai penyelesaian sengketa pajak melalui Peradilan Pajak di Indonesia.

B.           Permasalahan
Apa perkembangan, kedudukan, dan fungsi lembaga penyelesaian sengketa pajak melalui Peradilan Pajak di Indonesia?

C.          Pembahasan
Pengadilan Pajak merupakan generasi ketiga lahirnya pengadilan khusus dalam era Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Generasi pertamanya adalah pengadilan anak yang diikuti dengan pengadilan niaga dan pengadilan Hak Asasi Manusia. Dapat dikatakan bahwa pada saat itu belum ada pemikiran akan adanya pengkhususan pengadilan di lingkup peradilan lainnya. Adapun dengan didirikannya pengadilan pajak, seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU No.14 Tahun 2002), dikemudian hari ikut menambah nuansa baru dari suatu pengkhususan pengadilan di Indonesia. Seperti diketahui secara umum, hingga detik ini di Indonesia hanya ada 4 lingkup peradilan, yaitu peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Agama. Amandemen terhadap UU No. 14 Tahun 1970 dengan UU No.35 Tahun 1999, kemudian diamandemen lagi dengan UU No. 4 Tahun 2004 tidak mengubah ketentuan apapun. Hal ini menjadi masalah saat munculnya keberadaan pengadilan pajak. Dengan melihat karateristik pengadilan pajak, sekilas dapat diketahui bahwa pengadilan ini itdak mungkin masuk dalam lingkup peradilan umum karena pengadilan pajak berfungsi menyelesaikan sengketa warga negara yang tidak puas dengan keputusan yang diberikan oleh negara, khususnya kantor perpajakan, baik itu didaerah dan/atau di pusat. Dengan singkatnya, dapat disebutkan bahwa yang digugat dalam pengadilan pajak adalah putusan dari pejabat negara (Atep Adya Bharata, 2003).
Pengadilan pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat dan daerah, bea masuk dan cukai, dan pajak daerah dalam prakteknya terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para wajib pajak itu sendiri. Karenanya, si pewajib pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa antara instansi perpajakan, ddirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.
Sebelum adanya nama pengadilan pajak sudah didirikan sebelumnya lembaga khusus penyelesainya sengketa pajak yang dikenal dengan nama Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) sejak tahun 1998, kebutuhan untuk mendirikan badan peradilan seperti pengadilan pajak yang sekarang, tetap ada. Dalam butir-butir pertimbangan pada UU No. 4 Tahun 2004 dikatakan bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Karena itulah, diperlukan adanya suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Kehadiran pengadilan pajak diharapkan dapat lebih memberikan keadilan dan kepastian hukum yang tidak didapatkan dari institusi penyelesaian sengketa pajak sebelumnya. Ekspektasi ini yang dicoba hendak dijawab oleh pengadilan pajak. Sejak berdirinya, memang pengadilan pajak cukup diminati oleh para pihak yang bersengketa di bidang pajak dan dianggap cukup menjanjikan sebagai suatu badan peradilan yang baru dibentuk dalam mencari kepastian hukum.Sejak dahulu kala, pajak pada tahun 1915 (Staatsblaad Tahun 1915 Nomor 707) yang berkedudukan di Jakarta (Batavia pada saat itu). Kemudian, ketentuan penyelesaian sengketa pajak Indonesia sebenarnya sudah memiliki suatu Institusi khusus yang dikenal dengan nama institusi pertimbangan ini disempurnakan dengan Staatsblaad Tahun 1927 Nomor 29 tentang Ordonantie Regeling van Het Beroep in Belasting Zaken, sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 (Lembaran Negara Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1748) dengan kedudukan tetapnya di Jakarta.
Institusi pertimbangan pajak ini kemudian berganti nama menjadi Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang bertugas memberi keputusan atas surat permohonan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Majelis Pertimbangan Pajak memeriksa dan memutus sengketa pajak hanya berlaku hingga tahun 1997. Sejak awal tahun 1998, dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, penanganan penyelesaian sengketa pajak (banding dan gugatan) beralih ke Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
Didalam penjelasan umum Undang-Undang No.17 Tahun 1997 disebutkan bahwa Majelis Pertimbangan Pajak yang dibentuk berdasarkan Regeling van het beroep in Belasting Zaken Stbl. Nomor 29 Tahun 1927 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1959, tidak memadai lagi untuk memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan sengketa pajak.
Sesuai perkembangan perekonomian dan pembangunan nasional untuk lebih memberikan pelayanan kepada masyarakat, maka diperlukan lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif untuk menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak berdasarkan undang-undang perpajakan. Undang-undang perpajakan itu diharapkan dapat memberikan putusan hukum atas sengketa pajak dengan proses yang sederhana, cepat, dan murah. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka BPSP dibentuk.
Kompetensi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak lebih luas dibandingkan dengan badan peradilan pajak sebelumnya. Dalam penjelasan Undang-Undang No. 17 tahun 1997 dinyatakan bahwa: “Badan Penyelesaian Sengketa Pajak bukan saja menggantikan kedudukan Majelis Pertimbangan Pajak, tetapi juga menggantikan Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam UU. No. 10 Tahun 1985 tentang Kepabeanan dan UU. No. 11 Tahun 1985 tentang Cukai.”
Sebagai lembaga peradilan, keberadaan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak hanya berumur 4 tahun 4 bulan 11 hari. Badan ini digantikan dengan badan peradilan baru bernama Pengadilan Pajak, sejak diterbitkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada tanggal 12 April 2002. Pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2002, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan dalam hal terjadi sengketa pajak dengan fiskus (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:72).
Undang-Undang Pengadilan Pajak memberikan pengertian mengenai sengketa pajak yang terdapat dalam pasal 1 angka 5 yang berbunyi sebagai berikut: “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Adapun yang menjadi keputusan dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 1 angka 4 Undang-Undang Pengadilan Pajak, yaitu sebagai berikut: “Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
UU No. 14 Tahun 2002 juga memberikan pengertian mengenai pajak dalam pasal 1 angka 2 yaitu sebagai berikut: “Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Dengan pengertian pajak diatas, maka tidak ada satu jenis sengketa pajak pun yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang dikecualikan untuk dapat diperiksa di pengadilan pajak, setelah memenuhi persyaratan yang telah tertera dalam undang-undang. Jadi semua subyek pajak menyelesaikan sengketa pajaknya di pengadilan pajak (Winarto Suhendro).
Di samping itu, terdapat beberapa faktor lain yang merupakan kekhususan dari Pengadilan Pajak antara lain sebagai berikut (Adrian Suterdi):
1.        Pengadilan Pajak berkedudukan di ibukota Negara.
2.   Pembinaan teknis peradilan dilakukan oleh Mahkamah Agung, sedang pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Departemen Keuangan.
3.       Proses penyelesaian Sengketa Pajak melalui Pengadilan Pajak dalam acara pemeriksaannya hanya mewajibkan kehadiran Terbanding atau Tergugat, sedangkan Pemohon Banding atau Penggugat dapat menghadiri persidangan atas kehendaknya sendiri, kecuali apabila dipanggil oleh Hakim atas dasar alasan yang cukup jelas.
4.  Proses seleksi penerimaan Hakim dilaksanakan oleh Departemen Keuangan dengan melibatkan Mahkamah Agung.
5.      Pengadilan Pajak selain menjadi bagian integral dari kekuasaan kehakiman juga merupakan bagian integral dari proses penerimaan Negara yang bermuara di APBN.
6.     Pengadilan Pajak merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus Sengketa Pajak.
7.     Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yakni:
a.         Banding atas keputusan keberaran.
b.        Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan.
Pengadilan pajak juga mempunyai tugas mengawasi kuasa hukum yang memberian bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:72).
Pengadilan pajak yang diatur dalam UU No. 14 Tahun 2002 ini bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan yaitu:
1.     Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan terbuka, namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
2.   Penyelesaian sengketa pajak memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijasah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
3.       Sengketa yang diproses dalam pengadilan pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
4.   Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya pajak terutang dari wajib pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga wajib pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibatnya jenis putusan pengadilan pajak , disamping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar (Wiratni Ahmadi, 2006:55).
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dengan alasan:
a.    Apabila putusan pengadilan pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.    Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di pengadilan pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c.     Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c;
d.      Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e.     Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Dewi Karnia Sugiharti, 2005:73).

D.          Kesimpulan
Pengadilan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang sebelumnya adanya lembaga Badan Penyelesaian Sengketa Pajak yang diatur dalam Undang-Undang No. 17 tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak. Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yakni banding atas keputusan keberaran dan gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan. Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak (Pasal 33 UU No. 14 Tahun 2002). Sehingga putusan pengadilan pajak tidak dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali hanya wewenang untuk memeriksa peninjauan kembali (PK), sebagaimana diatur dalam Pasal 89 UU No. 14 Tahun 2002.

E.           Saran
Dalam rangka penyelesaian sengketa pajak melalui peradilan pajak, diperlukan adanya suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

  
DAFTAR BACAAN

Brotodihadjo, Santoso, 1991, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, P.T.Eresco, Bandung.

Soeparman, 1994, Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bohari, 1995, Pengantar Singkat Hukum Pajak, PT.Rajawali Persada, Jakarta.

Adya Bharata, Atep, 2003, Memahami Pengadilan Pajak: Meminimalisasi dan menghindari sengketa Pajak dan Bea Cukai, Elex Media Komputindo, Jakarta.

Karnia Sugiharti, Dewi, 2005, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung.

Ahmadi, Wiratni, 2006, Perlindungan Hukum Bagi  Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT Refika Aditama, Bandung.

Djafar Saidi, Muhammad, 2007, Perlindungan Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Suhendro, Winarto, Pengadilan Pajak Sebagai Pengadilan Khusus di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Suterdi, Adrian,  Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2002 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Senin, 04 November 2013

Makalah Teori Hukum

HERMENEUTIKA HUKUM 
DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR: 572 K/Pid/2003 TANGGAL 12 PEBRUARI 2004

Oleh: Anang Yustisia, S.H.

1.            Pendahuluan
Hukum seringkali ditafsirkan ansich bunyi peraturan perundang-undangan. Karena undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja secara langsung pada peristiwanya. Hal ini sebagaimana diamanatkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. “Ketentuan undang-undang harus diberikan arti, dijelaskan atau ditafsirkan dan diarahkan atau disesuaikan dengan peristiwanya untuk kemudian baru diterapkan pada peristiwanya”.[1]
Metode penafsiran konvensional dianggap tidak lagi mencukupi dalam memberikan tafsir perundang-undangan. Lahirlah kemudian apa yang disebut dengan hermeneutika hukum. “Hermeneutika hukum bertujuan diantaranya untuk menempatkan perdebatan kontemporer mengenai interpretasi dalam kerangka interpretasi yang lebih luas”.[2]
Berdasarkan uraian di atas, sehingga penulis menggunakan judul dalam makalah ini mengenai hermeneutika hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung yang diputus bebas di tingkat Kasasi dengan membandingkan penafsiran putusan terbukti bersalah dari putusan judex facti (pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding).

2.            Permasalahan
Apa hermeneutika hukum oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004?

3.            Pembahasan
Hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi menilai benar atau salah hakim judex facti dalam menerapkan hukum yang diputusnya tentunya banyak menggunakan hermeneutika hukum. Dalam hermeneutika hukum ini yang diterapkan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk. sehingga putusan kasasi ini menyatakan Ir. Akbar Tandjung dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi sedangkan H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dinyatakan terbukti secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi.
Untuk memahami hermeneutika hukum oleh Hakim Mahkamah Agung tersebut, lebih jelasnya memahami kasus posisi perkara tindak pidana korupsi tersebut sebagai berikut: berawal ketika Ir. Akbar Tandjung, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang didakwa telah memperkaya diri, yang secara langsung atau tidak langsung telah merugikan keuangan Negara, dalam hal ini keuangan BULOG sebesar Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) atau setidak-tidaknya dalam jumlah lain sekitar jumlah tersebut.[3]
Pada hari Rabu tanggal 4 September 2002, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan Nomor 449/Pid.B/2002/PN.Jak.Pus. menjatuhkan pidana terhadap Ir. Akbar Tandjung dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan; dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[4]
Dalam peradilan tingkat banding, pada hari Jumat tanggal 17 Januari 2003, Pengadilan Tinggi Jakarta melalui putusan Nomor 171/Pid/2002/PT.DKI menjatuhkan pidana kepada terdakwa-terdakwa tersebut di atas masing-masing dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun, dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) subsider 3 (tiga) bulan kurungan.[5]
Pada peradilan tingkat kasasi, pada hari Kamis tanggal 12 Pebruari 2004, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 572 K/Pid/2003 memutuskan: [6]
1.   Menyatakan terdakwa I Ir. Akbar Tandjung tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan Subsidair;
2.       Membebaskan oleh karena itu Terdakwa tersebut dari dakwaan Primair dan Subsidair;
3.       Memulihkan hak terdakwa tersebut dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.
Melalui putusan ini pula, Mahkamah Agung tetap mempidana H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dengan pidana penjara masing-masing selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan denda masing-masing sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah), dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.[7]
Dalam pertimbangan majelis hakim Mahkamah Agung pada tingkat kasasi ini lebih mengedepankan pertimbangan Hukum Administrasi Negara. Latar belakang akademik ketua majelis hakim kasasi, Paulus Effendie Lotulung, sebagai guru besar Hukum Administrasi Negara.
 M. Syamsudin berpendapat bahwa dalam menafsirkan makna korupsi, para hakim selalu menetapkan batasan, unsur, dan vonisnya dalam perkara yang bersangkutan kepada rambu-rambu peraturan perundang-undangan yang terkait korupsi. Kondisi ini sangat lumrah dipahami, sebab dalam memeriksa perkara korupsi hakim tidak dapat berdiri sendiri. Hakim terikat pada surat dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum yang selalu mendakwa terdakwa dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo. UU 20/2001) dengan berbagai variasinya.[8]
Tugas utama majelis hakim kasasi tersebut memeriksa dan mengadili apakah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. Tetapi majelis hakim kasasi tersebut menggunakan hermeneutika lain yaitu dengan melihat perspektif hukum lain yaitu hukum administrasi Negara. 
Hakim harus mampu membaca dan memahami keseluruhan teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta, dengan baik. Untuk memahami keseluruhan teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap kalimat harus diinterpretasikan dengan baik.[9] Kalimat per kalimat tersebut dilakukan suatu hermeneutika hukum yang kemudian diberi makna menjadi satu kesatuan makna yang baik.
Dalam konteks putusan kasus Akbar Tandjung, majelis hakim kasasi menginterpretasikan kalimat per kalimat pasal yang didakwakan kepada terdakwa. Oleh karena itu, majelis hakim kasasi memberikan interpretasi apa hakekat korupsi dengan menguraikan unsur-unsurnya yang terdiri dari:
a.         unsur “barangsiapa”;
b.        unsur “dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan;
c.  unsur “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”;
d.  unsur “yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”.
Namun seperti dipaparkan di atas, majelis hakim kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 lebih mengedepankan aspek hukum administrasi Negara dalam mengadili perkara Akbar Tandjung. Majelis hakim kasasi tidak memperhatikan perkara yang ditanganinya adalah perkara tindak pidana korupsi yang notabene ada pada wilayah (space) hukum pidana. Norma dan teori yang dipergunakan untuk memeriksa dan memutus perkara inipun, seharusnya ada pada wilayah bukum pidana, bukan hukum administrasi Negara. Namun majelis hakim kasasi tidak melakukannya. Sehingga putusan perkara Akbar Tandjung diputus bebas murni.
  Bebasnya Akbar Tandjung dari segala dakwaan menurut Suhardi Samomoeljono dan Mahendrata memprediksi bahwa majelis hakim kasasi akan menyatakan Akbar Tandjung terbukti melawan hukum dan bersalah. Tetapi Akbar tidak dapat dihukum atau dilepaskan dari tuntutan hukum (onslag) karena pada waktu itu dia hanya menjalankan perintah Presiden BJ. Habibie.[10]
   Marbun berpendapat bahwa dari sisi hukum administrasi Negara kasus Akbar Tandjung itu tidak terlepas dari prinsip mandat. Jika persoalan dana Buloggate II tersebut dipahami seperti itu, maka mestinya sejak persidangan tingkat pertama Akbar sudah bebas.[11]

4.            Kesimpulan
Dalam melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004 tentang tindak pidana korupsi atas nama terdakwa Ir. Akbar Tandjung, dkk., bahwa hakim mempergunakan hermeneutika dengan perspektif hukum administrasi Negara dalam memutus perkara, dan kurang memperhatikan aspek hukum lain yaitu perspektif hukum pidana.
Dalam rangka hermeneutika hukum dalam perkara tindak pidana korupsi, Hakim Mahkamah Agung di tingkat Kasasi harus mampu membaca dan memahami keseluruhan teks, dalam hal ini putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan baik. Untuk memahami keseluruhan teks tesebut, maka terlebih dahulu tiap kalimat harus diinterpretasikan dengan baik dan hendaknya lebih memperhatikan unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan memperhatikan undang-undang maupun peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi sehingga ada tidaknya perbuatan melawan hukum dapat diketahui dengan cermat demi terpenuhinya keadilan, kepastian, dan kemanfaatan.


DAFTAR BACAAN

Mertokusumo, Sudikno, 1993, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti.

Salman S., H.R. Otje & Anton F. Susanto, 2004, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung.

SF Marbun, 2004, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan Keterukuran Sanksi, UII Press, Yogyakarta.

Gregory Leyh, 2011, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Pratik, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung.

Shidarta, 2013, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum Buku 1 Akar Filofis, Genta Publishing, Bandung.

M Syamsudin, 2010, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010.

putusan.mahkamahagung.go.id, 2003, Putusan Mahkamah Agung No. 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Pebruari 2004.

Praktisi Hukum Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.





[1] Sudikno Mertokusmo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, 1993, h.12.
[2] Gregory Leyh, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori dan Pratik, diterjemahkan oleh M. Khozim, Nusa Media, Bandung, 2011, h.1.
[3] SF Marbun, Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung Keterbukaan Keterukuran Sanksi, UII Press, Yogyakarta, 2004, h.14-15.
[4] Ibid. h.530.
[5] Ibid. h.357.
[6] Ibid. h.529.
[7] Ibid. h.530.
[8] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[9] M Syamsudin, Pemaknaan Hakim tentang Korupsi dan Implikasinya pada Putusan: Kajian Perspektif Hermeneutika Hukum, Mimbar Hukum, Volume 22 Nomor 3, Oktober 2010, hal.502.
[10] Praktisi Hukum Soal Kasasi Akbar, Bebas atau Dihukum, Tak Bikin Negara Kiamat, http://www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=23114.
[11] Ibid.