Rabu, 12 Desember 2012

Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia


Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia

Sebelum Reformasi

Istilah Kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa.

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten Residen.

Hanya saja, pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan belanda mengemban misi terselubung yakni antara lain:
  1. Mempertahankan segala peraturan Negara
  2. Melakukan penuntutan segala tindak pidana
  3. Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khususnya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). 

Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung), Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk:
  1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran
  2. Menuntut Perkara
  3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
  4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, yang diperjelas oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara R.I. membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku.

Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Dua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) diputuskan kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman.

Kejaksaan RI terus mengalami berbagai perkembangan dan dinamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 22 periode kepemimpinan Jaksa Agung. Seiring dengan perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan RI, juga juga mengalami berbagai perubahan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.

Menyangkut Undang-Undang tentang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI. Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (Pasal 1), penyelenggaraan tugas departemen Kejaksaan dilakukan Menteri / Jaksa Agung (Pasal 5) dan susunan organisasi yang diatur oleh Keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kejaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 1961 tentang Pembentukan Kejaksaan Tinggi.

Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.


Masa Reformasi

Masa Reformasi hadir ditengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.

Dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahwa “Kejaksaan R.I. adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan.

Mengacu pada UU tersebut, maka  pelaksanaan kekuasaan negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 16 Tahun 2004, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka. Artinya, bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. juga telah mengatur tugas dan wewenang Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 30, yaitu :

(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
  1. Melakukan penuntutan;
  2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
  3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan bersyarat;
  4. Melaksanakan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
  5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:
  1. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
  2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
  3. Pengamanan peredaran barang cetakan;
  4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;
  5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
  6. Penelitian dan pengembangan hukum statistik kriminal.
Selain itu, Pasal 31 UU No. 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tersebut menetapkan bahwa di samping tugas dan wewenang tersebut dalam undang-undang ini, Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Selanjutnya Pasal 33 mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan membina hubungan kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya. Kemudian Pasal 34 menetapkan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.

Pada masa reformasi pula Kejaksaan mendapat bantuan dengan hadirnya berbagai lembaga baru untuk berbagi peran dan tanggungjawab. Kehadiran lembaga-lembaga baru dengan tanggungjawab yang spesifik ini mestinya dipandang positif sebagai mitra Kejaksaan dalam memerangi korupsi. Sebelumnya, upaya penegakan hukum yang dilakukan terhadap tindak pidana korupsi, sering mengalami kendala. Hal itu tidak saja dialami oleh Kejaksaan, namun juga oleh Kepolisian RI serta badan-badan lainnya. Kendala tersebut antara lain:
  1. Modus operandi yang tergolong canggih
  2. Pelaku mendapat perlindungan dari korps, atasan, atau teman-temannya
  3. Objeknya rumit (compilicated), misalnya karena berkaitan dengan berbagai peraturan
  4. Sulitnya menghimpun berbagai bukti permulaan
  5. Manajemen sumber daya manusia
  6. Perbedaan persepsi dan interprestasi (di kalangan lembaga penegak hukum yang ada)
  7. Sarana dan prasarana yang belum memadai
  8. Teror psikis dan fisik, ancaman, pemberitaan negatif, bahkan penculikan serta pembakaran rumah penegak hukum
Upaya pemberantasan korupsi sudah dilakukan sejak dulu dengan pembentukan berbagai lembaga. Kendati begitu, pemerintah tetap mendapat sorotan dari waktu ke waktu sejak rezim Orde Lama. Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang lama yaitu UU No. 31 Tahun 1971, dianggap kurang bergigi sehingga diganti dengan UU No. 31 Tahun 1999. Dalam UU ini diatur pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dan juga pemberlakuan sanksi yang lebih berat, bahkan hukuman mati bagi koruptor. Belakangan UU ini juga dipandang lemah dan menyebabkan lolosnya para koruptor karena tidak adanya Aturan Peralihan dalam UU tersebut. Polemik tentang kewenangan jaksa dan polisi dalam melakukan penyidikan kasus korupsi juga tidak bisa diselesaikan oleh UU ini.

Akhirnya, UU No. 30 Tahun 2002 dalam penjelasannya secara tegas menyatakan bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum luar biasa melalui pembentukan sebuah badan negara yang mempunyai kewenangan luas, independen, serta bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan korupsi, mengingat korupsi sudah dikategorikan sebagai extraordinary crime.

Karena itu, UU No. 30 Tahun 2002 mengamanatkan pembentukan pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi. Sementara untuk penuntutannya, diajukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang terdiri dari Ketua dan 4 Wakil Ketua yang masing-masing membawahi empat bidang, yakni Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, Pengawasan internal dan Pengaduan masyarakat.

Dari ke empat bidang itu, bidang penindakan bertugas melakukan penyidikan dan penuntutan. Tenaga penyidiknya diambil dari Kepolisian dan Kejaksaan RI. Sementara khusus untuk penuntutan, tenaga yang diambil adalah pejabat fungsional Kejaksaan. Hadirnya KPK menandai perubahan fundamental dalam hukum acara pidana, antara lain di bidang penyidikan. 

Sumber: http://www.kejaksaan.go.id

Kamis, 29 November 2012

Dirgahayu Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia Ke-41, 29 Nopember 2012


Sejarah KORPRI

Korps Pegawai Republik Indonesia merupakan suatu organisasi profesi beranggotakan seluruh Pegawai Negeri Sipil baik Departemen maupun Lembaga Pemerintah non Departemen. Korpri berdiri berdasarkan Keputusan Presiden Nomor : 82 Tahun 1971, 29 November 1971. Korpri dibentuk dalam rangka upaya meningkatkan kinerja, pengabdian dan netralitas Pegawai Negeri, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari lebih dapat berdayaguna dan berhasil guna.

Korpri merupakan organisasi ekstra struktural, secara fungsional tidak bisa terlepas dari kedinasan maupun di luar kedinasan. Sehingga keberadaan Korpri sebagai wadah unsur Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat harus mampu menunjang pencapaian tugas pokok institusi tempat mengabdi.

Latar belakang sejarah Korpri sangatlah panjang, pada masa penjajahan kolonial Belanda, banyak pegawai pemerintah Hindia Belanda, yang berasal dari kaum bumi putera. Kedudukan pegawai merupakan pegawai kasar atau kelas bawah, karena pengadaannya didasarkan atas kebutuhan penjajah semata.

Pada saat beralihnya kekuasaan Belanda kepada Jepang, secara otomatis seluruh pegawai pemerintah eks Hindia Belanda dipekerjakan oleh pemerintah Jepang sebagai pegawai pemerintah.Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu. Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada  tanggal 17 Agustus 1945. Pada saat berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia ini seluruh pegawai pemerintah Jepang secara otomatis dijadikan Pegawai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan RI, Pegawai NKRI terbagi menjadi tiga kelompok besar, pertama Pegawai Republik Indonesia yang berada di wilayah kekuasaan RI, kedua, Pegawai RI yang berada di daerah yang diduduki Belanda (Non Kolaborator) dan ketiga, pegawai pemerintah yang bersedia bekerjasama dengan Belanda (Kolaborator).

Setelah pengakuan kedaulatan RI tanggal 27 Desember 1949, seluruh pegawai RI, pegawai RI non Kolaborator, dan pegawai pemerintah Belanda dijadikan Pegawai RI Serikat. Era RIS, atau yang lebih dikenal dengan era pemerintahan parlementer diwarnai oleh jatuh bangunnya kabinet. Sistem ketatanegaraan menganut sistem multi partai. Para politisi, tokoh partai mengganti dan memegang kendali pemerintahan, hingga memimpin berbagai departemen yang sekaligus menyeleksi pegawai negeri. Sehingga warna departemen sangat ditentukan oleh partai yang berkuasa saat itu. Dominasi partai dalam pemerintahan  terbukti mengganggu pelayanan publik. PNS yang seharusnya berfungsi melayani masyarakat (publik) dan negara menjadi alat politik partai. PNS pun menjadi terkotak-kotak.

Prinsip penilaian prestasi atau karir pegawai negeri yang fair dan sehat hampir diabaikan. Kenaikan pangkat PNS misalnya dimungkinkan karena adanya loyalitas kepada partai atau pimpinan Departemennya. Afiliasi pegawai pemerintah sangat kental diwarnai dari partai mana ia berasal. Kondisi ini terus berlangsung hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Dengan Dekrit Presiden ini sistem ketatanegaraan kembali ke sistem Presidensiil berdasar UUD 1945. Akan tetapi dalam praktek kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangatlah besar. Era ini lebih dikenal dengan masa Demokrasi Terpimpin, sistem politik dan sistem ketatanegaraan diwarnai oleh kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme).

Dalam kondisi seperti ini, muncul berbagai upaya agar pegawai negeri netral dari kekuasaan partai-partai yang berkuasa. Melalui Undang-Undang Nomor : 18 Tahun 1961 ditetapkan bahwa … Bagi suatu golongan pegawai dan/atau sesuatu jabatan, yang karena sifat dan tugasnya memerlukan, dapat diadakan larangan masuk suatu organisasi politik (pasal 10 ayat 3). Ketentuan tersebut diharapkan akan diperkuat dengan dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengaturnya, tetapi disayangkan bahwa, PP yang diharapkan akan muncul ternyata tidak kunjung datang.

Sistem pemerintahan demokrasi parlementer berakhir dengan meletusnya upaya kudeta oleh PKI dengan G-30S. Pegawai pemerintah banyak yang terjebak dan mendukung Partai Komunis.

Pada awal era Orde Baru dilaksanakan penataan kembali pegawai negeri dengan munculnya Keppres RI Nomor : 82 Tahun 1971 tentang Korpri. Berdasarkan Kepres yang bertanggal 29 November 1971 itu, Korpri “merupakan satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai RI di luar kedinasan” (Pasal 2 ayat 2). Tujuan pembentukannya Korps Pegawai ini adalah agar “Pegawai Negeri RI ikut memelihara dan memantapkan stabilitas politik dan sosial yang dinamis dalam negara RI”.

Akan tetapi Korpri kembali menjadi alat politik. UU No.3 Th.1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya serta Peraturan Pemerintah No.20 Th.1976 tentang Keanggotaan PNS dalam Parpol, makin memperkokoh fungsi Korpri dalam memperkuat barisan partai. Sehingga setiap kali terjadi birokrasi selalu memihak kepada salah satu partai, bahkan dalam setiap Musyawarah Nasional Korpri, diputuskan bahwa organisasi ini harus menyalurkan aspirasi politiknya ke partai tertentu.

Memasuki Era reformasi muncul keberanian mempertanyakan konsep monoloyalitas Korpri, sehinga sempat terjadi perdebatan tentang kiprah pegawai negeri dalam pembahasan RUU Politik di DPR. Akhirnya menghasilkan konsep dan disepakati bahwa Korpri harus netral secara politik. Bahkan ada pendapat dari beberapa pengurus dengan kondisi tersebut, sebaiknya Korpri dibubarkan saja, atau bahkan jika ingin berkiprah di kancah politik maka sebaiknya membentuk partai sendiri.

Setelah Reformasi dengan demikian Korpri bertekad untuk netral dan tidak lagi menjadi alat politik. Para Kepala Negara setelah era Reformasi mendorong tekad Korpri untuk senantiasa netral. Berorientasi pada tugas, pelayanan dan selalu senantiasa berpegang teguh pada profesionalisme. Senantiasa berpegang teguh pada Panca Prasetya Korpri.

Panca Prasetya Korpri

Kami Anggota Korps Pegawai Republik Indonesia adalah insan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjanji :
1. Setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara serta memegang teguh rahasia jabatan dan rahasia negara.
3. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
4. Memelihara persatuan dan kesatuan bangsa serta kesetiakawanan Korps Pegawai Republik Indonesia.
5. Menegakkan kejujuran, keadilan dan disiplin serta meningkatkan kesejahteraan dan profesionalisme.

Makna Panca Prasetya Korpri

Kami anggota Korpri merupakan pernyataan dan janji secara sadar, ikhlas dan penuh tanggung jawab kepada diri sendiri, bagi mereka yang secara sah telah menempuh proses rekruitmen, pendidikan dan pelatihan, pengangkatan serta telah mengucapkan sumpah atau janji dan telah menandatangani ikatan kerja sebagai Pegawai RI. Oleh karena itu, anggota Korpri dapat dipercaya untuk memikul tugas atau jabatan pemerintahan. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anggota Korpri dengan sepenuh jiwa mengakui bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah Sang Maha Pencipta, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ketakwaan yang diwujudkan ke dalam berbagai bentuk amal dan ibadah merupakan suatu pernyataan terima kasih yang luhur kepada Sang Maha Pencipta.

a. Prasetya Pertama Setia merupakan sikap batin. Dengan demikian setia dan taat kepada Negara Kesatuan dan Pemerintah Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sikap batin anggota Korpri dan kesanggupannya mewujudkan dan mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Pada umumnya kesetiaan timbul dari pengetahuan dan pemahaman atas keyakinan yang mendalam terhadap sesuatu.

b. Prasetya Kedua Setiap anggota Korpri menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara. Menjunjung tinggi adalah mengangkat dan meletakkan sesuatu di atas kepala dengan tujuan menghormati atau menghargainya, kehormatan, menyangkut martabat, harga diri, nilai-nilai keluhuran seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber keberadaannya. Dengan demikian, pengertian menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan negara ialah menjunjung tinggi norma-norma yang hidup pada bangsa dan negara Indonesia. Memegang teguh rahasia. Rahasia dapat berupa rencana, kegiatan atau tindakan yang akan, sedang atau telah dilaksanakan. Rahasia dapat menimbulkan kerugian atau bahaya apabila diberitakan kepada atau diketahui oleh orang yang tidak berhak. rahasia dapat berupa dokumen tertulis, seperti surat, notulen rapat, peta, dan dapat pula berupa keputusan atau perintah lisan atau rekaman suara dari pejabat yang berwenang. Rahasia ada yang bersifat sangat rahasia, rahasia, atau terbatas, ada yang kerahasiaannya terus menerus, ada rahasia negara dan rahasia jabatan. Rahasia Negara adalah rahasia yang ruang lingkupnya meliputi seluruh atau sebahagian besar kepentingan negara dan dibuat oleh pimpinan tertinggi negara. Rahasia Jabatan ialah rahasia mengenai atau yang ada hubungannya dengan instansi tertentu dan dibuat oleh pimpinan instansi yang bersangkutan. Karena jabatan atau pekerjaannya, pegawai RI yang menduduki jabatan tertentu mengetahui rahasia negara atau rahasia jabatan. Karena setiap kebocoran rahasia selalu menimbulkan kerugian atau bahaya, hendaklah menjadi kewajiban pegawai RI yang bersangkutan untuk memegang teguh rahasia negara atau rahasia jabatan yang diketahuinya atau yang dipercayakan kepadanya. Kewjiban memegang suatu rahasia berlaku terus menerus baik sewaktu masih aktif bekerja maupun sesudah pensiun. Memegang teguh rahasia, selain merupakan etik, juga merupakan kewajiban hukum yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c. Prasetya Ketiga Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan bergantung pada kualitas dan ketangguhan pegawai RI. Oleh sebab itu pegawai RI harus melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dengan sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan harus memahami kebijaksanaan pemerintah dan menguasai peraturan perundang-undangan menurut bidangnya masing-masing. Setiap anggota Korpri mempunyai kedudukan dan peranan sebagai Abdi Negara dan Abdi Masyarakat. sebagai Abdi Negara hendaklah bekerja dengan ikhlas dan sungguh-sungguh menurut bidangnya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan negara dan harus selalu mengutamakan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi atau golongan. Sebagai Abdi Masyarakat harus selalu memberikan layanan secara profesional yang sebaik-baiknya untuk memenuhi aspirasi dan kepentingan masyarakat menurut bidangnya masing-masing dengan cara mempercepat pemberian layanan yang diperlukan masyarakat dan memberikan penjelasan yang diperlukan masyarakat tanpa pamrih.

d. Prasetya Keempat Persatuan dan kesatuan bangsa merupakan efek sinergi dari saling ketergantungan antara berbagai unsur di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam rangka memelihara/memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, setiap anggota Korpri harus berusaha, antara lain : 1) Menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila di dalam kehidupannya sehari-hari. 2) Meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama dan kerja sama di antara rakyat Indonesia yang memeluk agama yang berbeda-beda dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. 3) Menghormati adat istiadat dan kebiasaan golongan masyarakat. 4) Meningkatkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial, khususnya terhadap lapisan masyarakat yang tertinggal di dalam pembangunan. Kesetiakawanan Korpri merupakan sikap batin dari mereka yang merasa senasib sepenanggungan di dalam mencapai misi bersama yang diembannya. Setiap anggota Korpri harus memelihara kesetiakawanan Korpri. Setia kawan merupakan sikap positif dari mereka yang mempunyai tujuan yang sama dan mempunyai persamaan cara di dalam mencapai tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjas ama personal, fungsional, profesional di antara anggota Korpri.

e. Prasetya Kelima Berjuang menegakkan/meningkatkan mengandung pengertian kesediaan untuk selalu berbuat sesuatu yang lebih baik secara terus menerus. Kejujuran bagi anggota Korpri ialah ketulusan hati di dalam melaksanakan tugasnya dan tidak menyalah gunakan wewenang yang diberikan kepadanya. setiap anggota Korpri harus bersikap dan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, adil dan bersemangat untuk kepentingan negara. Kesejahteraan merupakan salah satu tujuan nasional negara kita. Oleh karena itu, segenap anggota Korpri harus turut serta aktif dan dinamis di dalam meningkatkan kesejahteraan umum demi tercapainya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan kesejahteraan pegawai RI dilakukan sebagai bagian yang menyeluruh dari pembangunan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Profesionalisme mengandung pengertian kesanggupan seseorang dalam menghayati, menguasai, mengerjakan suatu konsep/gagasan atau tugas yang dihadapi atau ditugaskan kepadanya. Disamping ilmu pengetahuan dan kemampuan, anggota Korpri hendaklah mempunyai kreativitas yang tinggi. Kreativitas mengandung arti kesanggupan atau keahlian seseorang dalam melahirkan berbagai gagasan, ide, konsep yang tepat, tepat guna dan hasil guna untuk keperluan atau penyelesaian sesuatu secara profesional.


Mars KORPRI karya E.L. Pohan.

Satukan irama langkahmu bersatu tekad menuju ke depan
Berjuang bahu membahu membrikan tenaga tak segan
Membangun negara yang jaya membina bangsa besar sejahtera
Memakai akal dan daya membimbing membangun mengemban

Berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar Empat Lima
serta dipandukan oleh haluan negara kita maju terus
Di bawah panji Korpri kita mengabdi tanpa pamrih
di dalam naungan Tuhan Yang Maha Kuasa
Korpri maju terus






Sabtu, 10 November 2012

Hari Pahlawan, 10 Nopember 1945












Sejarah Hari Pahlawan

Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.



Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.



Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga telah dibentuk.

Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga ada pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.


Pidato Bung Tomo


Bismillahirrohmanirrohim... MERDEKA!!!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia, terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya, kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua, kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka, tentukan menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang, mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan, mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka. 
Saudara-saudara, di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan bahwa rakyat Indonesia di Surabaya, pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku, pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi, pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali, pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan, pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera, pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di Surabaya ini di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol, telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana, hanya karena taktik yang licik dari pada mereka itu saudara-saudara, dengan mendatangkan presiden dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini, maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran, tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya.
Saudara-saudara kita semuanya, kita bangsa Indonesia yang ada di Surabaya ini, akan menerima tantangan tentara inggris itudan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya, ingin mendengarkan jawaban rakyat Indonesia, ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara inggris, ini jawaban kita, ini jawaban rakyat Surabaya, ini jawaban pemuda Indonesia kepada kau sekalian, hai tentara inggris, kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu, kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu, kau menyuruh kita membawa senjata-senjata yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu, tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada, tetapi inilah jawaban kita: 
"selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merahyang dapat membikin secarik kain putih merah dan putihmaka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga".
Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting! tetapi saya peringatkan sekali lagi, jangan mulai menembak, baru kalau kita ditembak, maka kita akan ganti menyerang mereka itu, kita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka.
Dan untuk kita saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur dari pada tidak merdeka, semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
Dan kita yakin saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, sebab Allah selalu berada di pihak yang benar, percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! MERDEKA!!!

Minggu, 28 Oktober 2012

Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928


Sejarah Hari Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda adalah bukti otentik bahwa tanggal 28 Oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Oleh karena itu sudah seharusnya segenap rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia. Proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945.
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.
Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis.
Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan.
Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.
Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong JavaJong AmbonJong CelebesJong BatakJong Sumatranen BondJong Islamieten BondSekar RukunPPPIPemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.
Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Sumpah Pemuda versi orisinal:
  1. Pertama: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
  2. Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
  3. Ketiga: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda versi Ejaan Yang Disempurnakan:
  1. Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  2. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
  3. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Jumat, 12 Oktober 2012

Dirgahayu Provinsi Jawa Timur ke-67








Sejarah Singkat Hari Jadi Provinsi Jawa Timur

Dengan di implementasikan kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maka terjadi perubahan paradigma dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dari paradigma penyelenggaraan pemerintah Daerah yang bersifat sentralistis menjadi paradigma pemerintah daerah yang bersifat desentralistis. Paradigma pemerintah daerah yang bersifat desentralistis tersebut memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengeksplorasi, mengelola dan mengembangkan potensi daerah, guna meningkatkan kesejahteraan warganya sehingga kemandirian Pemerintah Daerah merupakan sutau keharusan.
Guna mencapai kemajuan dan peningkatan kesejahteraan tersebut, diperlukan partisipasi aktif dengan menggalang solidaritas warga daerah agar merasa ikut handarbeni, perasaan ikut membangun, ikut menikmati hasilnya, dan akhirnya memiliki kebanggaan dan kesetiaan kepada daerahnya. Salah satu bentuk penggalangan solidaritas yang dimaksud adalah adanya identitas daerah, antara lain dalam bentuk hari jadi pemerintahnya.
Berbekal dari idealisme untuk mengembangkan Jawa Timur dan pengalaman penggalian hari jadi berbagai pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten dan Kota seperti Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Surabaya, Nganjuk, Blitar, Tuban, Sumenep ternyata hari jadi suatu Pemerintah Daerah menjadi sebuah tonggak, menjadi suatu tetengger simbolik dimulainya sebuah pemerintahan disuatu daerah. Peristiwa bersejarah itu patut di diperingati, sebagai refleksi terwujudnya idealisme, harapan-harapan, keselamatan, kesuksesan dan perjuangan tanpa henti guna meningkatkan kesejahteraan seluruh warganya. Peringatan hari jadi suatu daerah dapat dianalogikan dengan perayaan hari kelahiran seseorang, dihelat dengan iringan segala doa dan harapan-harapan demi kebahagiaan yang bersangkutan dimasa mendatang.
Dalam rangka melengkapi identitas keberadaannya, Provinsi Jawa Timur yang berposisi sangat strategis, dirasa perlu menemukan hari jadi atau hari kelahirannya. Hal itu berarti menemukan suatu tonggak waktu sebagai titik mula dimulainya pemerintahan sebuah provinsi yangtelah mengalami perjalanan panjang hingga menemukan bentuk pemerintahan dengan wilayah seperti yang dijumpaisekarang ini. Adapun persoalan – persoalan yang menjadi fokus penelitian Hari Jadi Provinsi Jawa Timur sebagai berikut :
  1. Bagaimana proses terbentuknya wilayah Jawa Timur hingga menjadi wilayah yang berstatus Pemerintahan Provinsi.
  2. Apakah wilayah dan struktur Pemerintahan Provinsi Jawa Timur baru muncul pada zaman Hindia Belanda atau telah ada pada zaman sebelumnya? bila struktur itu telah ada, bagaimana perkembangannya.
  3. Kapankah terbentuknya wilayah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintahannya.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, proses pembentukan struktur pemerintahan dan kewilayahan Jawa Timur ternyata memiliki perjalanan sangat panjang. Dari sumber-sumber epigrafis dalam bentuk tertulis (Prasasti Dinoyo) diketahui bahwa sejak abad VIII, tepatnya tahun 760 di Jawa Timur telah muncul suatu satuan pemerintahan; Kerajaan Kanjuruhan di Malang, dengan status yang sampai kini masih diperdebatkan.
Pada abad X, Jawa Timur menapaki fase baru, Jawa Timur yang semula merupakan wilayah pinggiran dari Kerajaan Mataram Kuno Jawa Tengah, kemudian mendapatkan momentum sebagai pusat kekuasaaan berbagai kerajaan, seperti Medang(937-1017), Kahuripan (1019-1049), Daha-Janggala (1080-1222), Singasari (1222-1292) dan Majapahit (1293-1527). Dalam hal ini, PU Shendok (929-947) adalah tokoh paling berjasa yang berhasil meletakkan dasar-dasar pemerintahan di Jawa Timut. Struktur pemerintahannya secara hirarkhis terdiri dari pmerintah pusat (Kraton), Watek (Daerah). Struktur ini terus bertahan sampai abad XIII zaman Singasari.
Pada abad XIII terjadi perkembangan baru dalam strukur ketatanegaraan di Indonesia di Jawa Timur, ditandai dengan munculnya sebuah struktur baru dalam pemerintahan, yaitu Negara (Provinsi). Berdasarkan Prasasti Mulamalurung (1255) dari masa Wisnu Wardhana yang juga bergelas Sminingrat menyatakan bahwa struktur pemerintahan Singasari dari Pusat (Kraton), Negara (Provinsi), Watek (Kabupaten) dan Wanua (Desa).
Pada masa kerajaan Majapahit, susunan itu mendapatkan berbagai penyempurnaan, terdiri dari bhumi (Pusat/Kraton), Negara (Provinsi/Bhatara), Watek/Wiyasa (Kabupaten/Tumenggung), Lurah/Kuwu (Kademangan), Thani/Wanua (Desa/Petinggi) dan paling bawah Kabuyutan (Dusun/Rama).
Anehnya struktur kenegaraan Majapahit (1294-1527) justru berkembang secara ketat pada masa Mataram (1582-1755), Wilayah Mataram dibagi secara konsentris terdiri dari Kuthagara/Negara (Pusat/Kraton), Negaragung/Negaraagung (Provinsi Dalam), Mancanegara (Provinsi Luar), Kabupatend dan Desa. Secara Estimologis, sebutan Jawa Timur pada zaman Mataram Islam muncul dengan nama Bang Wetan, dengan wilayah meliputi seluruh Pesisir Wetan dan Mancanegara Wetan (Pedalaman Jawa Timur).
Selanjutnya setelah Huru hara Cina di Kartasura (1743), seluruh Wilayah Pesisir Utara JAwa dan Seluruh Pulau Madura jatuh di tangan kompeni, sedang daerah Mataram tinggal wilayah pedalaman jawa (Mancanegara Wetan-Mancanegara Kulon). dengan akhirnya perang Dipanegara (1830), seluruh Jawa Timur (Bang Wetan) dapat dikuasai Pemerintah Hindia Belanda. Dari tahun 1830-1928/1929, Belanda menjalankan pemerintahan dengan hubungan langsung Pemerintah Pusat VOC di Batavia dengan para Bupati yang berada di wilayah kekuasaanya.
Pemerintah Hindia Belanda yang sejak awal abad XX menerapkan politik imperalisme modern melakukan intensifikasi pemerintahan dengan membentuk Pemerintahan Provinsi Jawa Timur (Provincient van Oost Java) pada tahun 1929, dengan struktur pemerintahan, wilayaha dan birokrasi tidak jauh berbeda seperti yang ada sekarang. Pada masa pendudukan jepang (1942-1945) seperti daeah lain, Jawa Timur diletakan dibawah pendudukan militer Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah Republik Indonesia mulai menata kehidupan kenegaraan. Berdasarkan pasa 18 Undang-undang Dasar 1945 pada tanggal 19 Agustus 1945 oleh PPKI dibentuklah Provinsi dan Penentuan para Gubernurnya. Untuk pertama kalinya, R.M.T Soerjo yang kala itu menjabat Residen Bojonegoro ditunjuk sebagai Gubernur Jawa Timur yang pertama R.M.T Soejo yang dilantik tanggal 5 September 1945, sampai tanggal 11 Oktober 1945 harus menyelesaikan tugas-tugasnya di Bojonegoro dan baru tanggal 12 Oktober 1945 boyong ke Surabaya, Ibu Kota Provinsi Jawa Timur. Atas pertimbangan perjalanan sejarah inilah maka diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang Hari Jadi Provinsi Jawa Timur yang menetapkan Tanggal 12 Oktober sebagai hari Jadi Jawa Timur dan akan diperingati secara resmi setiap tahun, baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota di seluruh Jawa Timur.
Sumber: www.jatimprov.go.id